Sosok Nabi Muhammad SAW sebagai manusia paling mulia adalah contoh teladan paling baik (uswatun hasanah)
dalam berbagai sisi dan bidang kehidupan. Semua akhlak, pribadi dan
kebiasaan beliau patut dicontoh dan mengandung kebaikan. Setiap sisi
kehidupannya adalah teladan. Sosok yang semestinya digugu dan ditiru
tidak saja oleh umat Islam karena beliau diutus untuk seluruh alam. Tak
terkecuali bagi seorang guru.
Setiap nabi adalah guru bagi umatnya. Bagaimana nabi mendidik keluarga, sahabat dan umatnya secara umum harusnya dicontoh oleh setiap guru. Jika kita mau menelisik lebih dalam liku-liku kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka kita akan menemukan begitu banyak panduan, pedoman dan contoh yang diberikan Rasul dalam mengajar dan mendidik. Sangat disayangkan jika dilewatkan oleh guru yang merupakan estafet pelanjut amanah Nabi sebagai pendidik umat. Mendidik anak-anak di sekolah adalah mendidik umat penerus generasi selanjutnya.
Setiap nabi adalah guru bagi umatnya. Bagaimana nabi mendidik keluarga, sahabat dan umatnya secara umum harusnya dicontoh oleh setiap guru. Jika kita mau menelisik lebih dalam liku-liku kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka kita akan menemukan begitu banyak panduan, pedoman dan contoh yang diberikan Rasul dalam mengajar dan mendidik. Sangat disayangkan jika dilewatkan oleh guru yang merupakan estafet pelanjut amanah Nabi sebagai pendidik umat. Mendidik anak-anak di sekolah adalah mendidik umat penerus generasi selanjutnya.
Penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang patut untuk dipelajari oleh guru dari sosok Nabi Muhammad SAW.
Pertama,
Nabi adalah teladan. Nabi mengajarkan umatnya dengan contoh dan
teladan. Saat mengajarkan suatu hal maka Nabi yang pertama kali
melakukannya. Saat umat Islam sibuk membuat parit untuk menghadang
serbuan kaum kafir dalam Perang Khandaq misalnya, Nabi tak hanya
memberikan instruksi. Tetapi, sang Nabi turun langsung menggali parit
bahkan memecahkan batu besar. Guru adalah role model bagi muridnya-muridnya. Guru yang baik adalah guru yang mengajak bukan menyuruh. Mengatakan “mari” pada murid-muridnya bukan mengatakan “ayo”.
Contoh kecil, guru meminta murid membuang sampah pada tempatnya tapi
guru sendiri membuang sampah sembarangan. Bahkan guru enggan untuk
sekedar memungut sampah yang tergeletak di halaman atau teras sekolah.
Guru lebih sering menjadi guru NATO; No Action Talk Only. Hanya
bisa menyuruh tapi ia sendiri tak mau berbuat dan memberi contoh.
Padahal, jika sedikit saja guru mau berbuat dan mengajak muridnya ikut
serta maka penanaman nilai-nilai karakter akan lebih mudah tertanamkan.
Nilai-nilai itu akan lebih mudah tertanam saat murid melihat contoh
daripada mendengar instruksi.
Contoh lain, guru mengajarkan murid
untuk disiplin tapi guru sendiri tak disiplin. Guru jarang masuk untuk
mengajar, jika datang pun selalu terlambat. Tak ada contoh, nihil
keteladanan. Yang lebih lucu, jika murid yang terlambat murid dihukum,
namun jika guru yang terlambat guru merasa tak perlu untuk dihukum.
Minimal menghukum diri dengan tak mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Kedua,
Nabi adalah pribadi yang tak henti-hentinya untuk belajar. Selain dari
wahyu, Nabi juga mempelajari ilmu-ilmu yang akan mendukung tugas
kenabian dan kerasulannya. Guru yang baik adalah guru pembelajar. Guru
yang tak henti untuk belajar. Jika guru sudah tak mau belajar, maka ia
akan menjadi guru yang ketinggalan informasi dan tak update dalam segala hal.
Akibatnya, kita akan menemukan banyak guru yang masih menggunakan style
lama dalam mengajar. Tak mau belajar hal-hal baru dan apatis soal
perkembangan terbaru soal profesinya. Untuk media ajar misalnya, dari
sejak pertama kali bertugas, tak jarang guru hanya bermodalkan kapur
tulis dan papan hitam. Tak mau beranjak ke media ajar yang lebih menarik
dan menghibur buat murid.
Ketiga. Nabi mengajar dengan cerita. Nabi banyak menceritakan kisah-kisah
umat terdahulu untuk menjadi contoh bagi umatnya. Baik contoh umat-umat
yang takwa maupun yang durhaka. William Arthur Ward, seorang penulis
Amerika pernah berkata, “Guru biasa, memberitahu; guru yang baik menjelaskan; guru yang superior menunjukkan; dan guru yang hebat menginspirasi.”
Guru yang hebat adalah guru yang mampu menginspirasi dan bahkan menjadi
inspirasi bagi murid-muridnya. Salah satu cara menebar inspirasi adalah
lewat cerita dan kisah.
Jika sang guru tak punya kisah pribadi yang kira-kira bisa
menginspirasi, maka guru bisa menjadikan kisah orang-orang sukses
sebagai contoh dan penyemangat buat anak-anak.
Penulis teringat dengan kisah Muhammad al-Fatih, sang penakluk
Konstantinopel. Pribadi penakluknya terbentuk karena sejak kecil beliau
dinina-bobo kan dengan kisah-kisah dan cerita-cerita
kepahlawanan oleh gurunya. Hal itulah yang menginspirasi dan mampu
memotivasinya untuk berjuang sepenuh hati dan jiwa mempersiapkan diri
sehingga ia mampu memimpin sebuah pasukan menaklukkan Kota
Konstantinopel. Bahkan, sejarah mencatat ia masih berumur 21 tahun saat
penaklukan itu. Usia yang masih sangat muda.
Keempat,
Nabi mengajar dengan dialog. Jika kita telisik kisah nabi akan kita
temukan episode dimana seorang sahabat mengajukan pertanyaan kepada Nabi
dan dijawab dengan pertanyaan pula. Artinya, sahabat yang bertanya
diminta untuk berfikir dan tak langsung diberikan jawaban atas
pertanyaannya. Guru juga semestinya melakukan hal yang sama dalam
mengajar.
Guru harus melatih murid untuk berfikir dan menganalisa.
Tentu dengan memperhatikan tingkat kemampuan berfikir murid. Murid
tidak disuapi begitu saja tetapi diberikan kesempatan berfikir dan
mencari solusi. Karena, hal yang harus selalu diingat oleh guru yaitu
mengajar bukan mengisi gelas kosong tapi menyiram tanaman. Potensi sudah
ada pada tiap murid. Guru hanya perlu merangsang untuk keluarnya
potensi-potensi itu dan mengembangkannya.
Kelima, Nabi
mengajar dengan penggambaran. Ada satu cerita ketika Rasul menjelaskan
tentang Islam beliau membuat garis lurus dan membuat garis yang tegak
lurus memotong garis yang pertama. Beliau menjelaskan bahwa garis lurus
utama adalah Islam yang lurus sedangkan garis yang memotong garis utama
adalah jalan-jalan kesesatan yang buntu. Di lain kesempatan, Rasul
membuat sebuah garis lurus di atas pasir. Setelah, itu beliau membuat
sebuah persegi yang memotong salah satu ujung garis lurus itu. Sehingga
setengah garis berada dalam kotak sedangkan setengahnya lagi berada di
luar kotak. Beliau menjelaskan bahwa garis lurus adalah cita-cita dan
keinginan manusia sedangkan kotak persegi adalah ajal. Dengan
garis-garis itu beliau menjelaskan bahwa cita-cita dan keinginan kita
dibatasi oleh ajal.
Apa makna tersirat dari kisah Rasul tersebut? Ya. Tentang visualisasi.
Guru, terutama yang mengajar di tingkat dasar semestinya memahami bahwa
ditinjau dari psikologi perkembangan, tahap berfikir peserta didik pada
tingkat dasar (terutama SD) masih berada dalam tahap operasional
kongkrit dimana murid masih sulit untuk memahami hal-hal yang abstrak.
Penjelasan tentang suatu hal harus menggunakan hal-hal yang visible
dan kongkrit. Contoh sederhana, saat mengajarkan materi penjumlahan
dalam pelajaran matematika maka guru harus menghadirkan benda nyata yang
akan dijumlahkan. Bukan langsung kepada penjelasan menggunakan angka
yang cenderung masih bersifat abstrak.
Disinilah perlunya
penggunaan alat peraga dalam pengajaran. Mengutip hasil penelitian Dr.
Venon Magnesen dari Texas University seperti diungkap Munif Chatib
(2012), dengan modalitas visual otak lebih cepat menangkap informasi
dibanding hanya dengan mendengarkan.
Begitu banyak hal yang bisa
diteladani dari seorang Nabi Muhammad SAW. Tak cukup ruang untuk
membahas semuanya dalam tulisan ini. Hanya jika guru mau belajar maka
akan mampu memetik hikmah dan pelajaran dari pribadi sang Nabi yang
menakjubkan. Guru adalah pelanjut tugas Nabi sebagai pendidik umat maka
sudah semestinya guru banyak belajar dari cara mendidik dan mengajar
Nabi.
Ide Kreatif Guru Says:
"Terimakasih telah berkunjung ke situs ini, semoga artikel yang kami berikan bisa bermanfaat dan menambah wawasan baru kepada anda kehususnya berkenaan dengan pembelajaran "
0 comments:
Post a Comment